Apa itu injil? Injil adalah kabar baik. Kabar sukacita bahwa Kerajaan Allah telah datang dalam diri Yesus Kristus, Anak Allah yang telah mati menebus dosa manusia dan yang telah bangkit memberi hidup kekal bagi yang percaya. Inilah kabar baik itu. Siapa pun yang memiliki kabar baik seperti ini ia tidak akan mampu menahan kabar sukacita ini hanya untuk dirinya sendiri, melainkan ia akan memberitakan kabar itu kepada semua orang supaya semua orang merasakan bahkan mengalami sukacitanya.
Sukacita itulah yang terjadi dan dialami oleh murid-murid dan semua orang percaya di Yerusalem sehingga sekalipun mereka mengalami tekanan dan teraniaya mereka terus memberitakan kabar baik itu. Di Yerusalem mereka teraniaya dan tersebar ke kota-kota sekitarnya; ke Yudea, Samaria, Asdod dan kota-kota lainnya, namun dalam setiap perjalan dan setiap kota yang mereka singgahi mereka lakukan sambil memberitakan Injil (ay. 4, 12, 25, 35, 40).
Suka cita besar karena Injil yang telah dialami dan mengubahkan hidup murid-murid dan orang percaya tidak terpadamkan oleh apa pun juga termasuk aniaya yang sedang mereka alami, itulah yang membuat Injil tersebar dari Yerusalem ke Yudea, Samaria dan sampai ke ujung bumi; ke segala bangsa di dunia.
Sudahkah Saudara/i mengalami suka cita besar karena Injil yang telah menyelamatkan dan mengubahkan hidup Anda? Suka cita itulah yang akan membuat kita selalu ingin memberitakan dan membagikan Injil kepada semua orang supaya semua orang pun mengalami sukacita, keselamatan dan perubahan hidup seperti yang telah kita alami. Semoga Tuhan menolong kita. Amin.
Dalam kehidupan bersama, baik dalam keluarga maupun dalam bermasyarakat kita mengenal istilah: "ringan sama dijinjing, berat sama dipikul". Sedangkan dalam kehidupan bersama sebagai orang percaya kita mengenal istilah gereja sebagai tubuh Kristus, apa yang dialami satu anggota dirasakan seluruh tubuh. Kedua istilah ini hendak menyatakan bahwa dalam kehidupan bersama susah dan senang, berhasil dan gagal, baik dan buruk dirasakan bersama oleh semua anggota kelompok; saling peduli, saling menopang dan saling mendukung satu sama lain. Bisa kita bayangkan apa yang akan terjadi bila hal ini sungguh-sungguh dipraktekan di dalam keluarga, di masyarakat dan juga di gereja. Pasti akan terjadi hidup bersama yang indah!
Apa yang ideal, dan diharapkan dalam hidup bersama sering berbeda dengan kenyataannya. Itulah yang terjadi pada kehidupan bersama umat percaya pada jaman Rasul Paulus. Sebagai tubuh Kristus, semua umat percaya di berbagai tempat di dunia ini pada hakekatnya adalah satu. Itu berarti kesusahan dan atau kesenangan umat di satu tempat menjadi kesusahan dan atau kesenangan seluruh umat percaya di tempat lainnya. Namun yang terjadi ketika jemaat di Yerusalem mengalami kesusahan dan butuh bantuan jemaat di Korintus kurang peduli. Padahal jemaat Korintus adalah jemaat yang kaya dalam segala hal (ay. 7) tapi ternyata mereka miskin dalam pemberian/pelayanan kasih. Itulah sebabnya Rasul Paulus menegur mereka dengan keras agar mereka bukan hanya kaya dalam hal-hal tertentu saja tetapi juga kaya hati, kaya dalam pelayanan kasih. Rasul Paulus mengajak jemaat Korintus bercermin kepada Jemaat Makedonia, sekalipun dalam kondisi kekurangan namun mereka kaya dalam pemberian (ay. 1-2), dengan membantu jemaat Yerusalem yang butuh pertolongan. Itulah hakekat hidup bersama, saling peduli dan saling membantu, kelebihan yang satu menutupi kekurangan yang lain, sehingga ada keseimbangan. Dan rasul Paulus mengingatkan bahwa kepedulian dan pemberian itu harus dilakukan dengan sukarela bukan dengan terpaksa karena pemberian itu pada dasarnya adalah persembahan kepada Allah (ay.11,12), sehingga dapat menyenangkan hati-Nya.
Dalam kehidupan bersama sebagai umat Allah kita harus selalu menyadari bahwa kita adalah Tubuh Kristus; apa pun yang dialami sesama kita baik dalam keluarga, dalam jemaat, dalam bersinode bahkan dalam kebersamaan semua gereja di dunia kita turut merasakannya. Itu berarti apa yang dialami GKI Taman Yasmin dan GK Sarua Permai dalam permasalahan tempat ibadah seharusnya menjadi keprihatinan kita bersama sebagai Tubuh Kristus. Dan lebih dari itu kita seharusnya menyatakan kasih dan kepedulian kita dengan memberi dukungan dan mendoakannya. Kiranya Tuhan menolong kita. Amin.
Kesusahan! Adakah orang yang tidak pernah mengalami kesusahan dalam hidupnya? Setiap orang pasti pernah mengalami kesusahan, tak terkecuali orang kristen. Dan ketika menghadapi kesusahan setiap orang menghadapinya dengan sikap yang berbeda-beda; ada yang menghadapinya dengan marah, stres, mengeluh, menyalahkan orang lain, bahkan sampai menyalahkan Tuhan. Itulah sebabnya karena kesusahan yang kita alami hidup kita bisa kacau, keluarga bisa hancur dan iman bisa runtuh.
Melalui kisah Ayub, kita dapat belajar bagaimana seharusnya sikap kita dalam menghadapi kesusahan hidup. Dalam kesalehan hidup beragamanya Ayub mengalami kesusahan besar dalam hidupnya; harta bendanya habis, anak-anaknya meninggal, dan ia terkena penyakit kulit yang sangat mengerikan. Menghadapi kesusahan itu, bisa saja Ayub bersikap marah, meragukan kebaikan Tuhan dan bahkan menuduh Tuhan melakukan yang tidak adil terhadap dirinya. Tetapi Ayub tidak bersikap demikian, dalam kesusahannya ia memilih sikap tetap percaya pada Tuhan dengan segala kebaikan-Nya, katanya, "Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil, terpujilah nama Tuhan!" (1:21b).
Dari Ayub kita belajar bahwa kesusahan ternyata dapat merupakan kesempatan bagi kita untuk menunjukan kesetiaan kepada Tuhan (2:10), kesempatan untuk bertumbuh dalam iman dan pengenalan yang benar akan Tuhan (42:5), dan kesempatan untuk tetap hidup dalam rencana Tuhan dan penggenapannya (42:10).
Kesusahan adalah kesempatan, bila kita menyikapi kesusahan itu dengan sikap yang benar dan dengan tetap percaya pada Tuhan dengan segala kebaikannya pada kita.
Jadi bila kesusahan datang, marilah kita belajar kepada Ayub, dengan menjadikan kesusahan sebagai kesempatan untuk bertumbuh dalam iman dan tetap kuat di dalam Tuhan. Amin!
Selama manusia hidup pasti selalu akan menghadapi masalah; masalah yang satu selesai, masalah yang lain datang, dan masalah akan terus-menerus datang silih berganti sampai kehidupan di dunia ini berakhir. Mengapa Tuhan mengijinkan masalah? Tuhan mengijinkan masalah menghampiri kita sebenarnya untuk mengajar kita banyak hal tentang kehidupan, dan salah satu hal itu ialah agar kita senantiasa belajar bergantung kepada-Nya.
Umat Israel di bawah pimpinan Musa dalam perjalanan di padang gurun menuju negeri Kanaan juga menghadapi berbagai masalah. Baru saja mereka dapat mengatasi masalah ketiadaan air di Rafidim, masalah baru segera muncul, yaitu penyerangan orang-orang Amalek untuk merebut sumber air itu.
Menghadapi permasalah ini, Musa sebagai pemimpin memberi arahan yang jelas kepada umatnya; yaitu satu visi: Kemenangan atas orang Amalek. Satu hati, yaitu bahwa kemenangan itu sungguh-sungguh dinginkan, diharapkan, dirindukan dan didambakan seluruh umat bersama-sama. Dan untuk mewujudkan kemenangan itu dengan bersama-sama bergerak maju ke medan perang menghadapi orang Amalek. Mereka sama-sama maju; sebagian berperang dan sebagian berdoa mohon pertolongan Tuhan. Mereka maju bersama dengan tugas masing-masing yang berbeda. Dan mereka menang!
Hari ini, dalam memperingati HUT Sinode Gereja Kristus kita diingatkan betapa pentingnya kita memiliki satu visi, satu hati dan satu gerakan maju bersama-sama dengan 18 jemaat Gereja Kristus lainnya menuju GEREJA YANG MEMULIAKAN TUHAN.
Selamat Panjang Umur Gereja Kristus, semoga terus menjadi berkat bagi dunia dan menjadi kemuliaan bagi Tuhan. Amin!
Kita manusia mempunyai kecenderungan menilai segala sesuatu termasuk seseorang dari apa yang kelihatan. Misalnya seseorang dinilai sukses apabila ia memiliki jabatan tinggi atau harta yang banyak. Bahkan apa yang kelihatan sering juga dijadikan ukuran menilai kerohanian seseorang sebagai orang yang diberkati dan tidak diberkati.
Kisah Samuel yang mencari calon raja bagi Israel adalah contoh bagaimana kita dapat jatuh pada penilaian yang hanya secara fisik atau yang kelihatan saja. Sebagai seorang nabi tentu Samuel mempunyai gambaran ideal tentang seorang raja yaitu seorang yang tinggi, tegap, kuat dan tampan. Pokoknya seorang raja atau pemimpin adalah orang yang enak untuk dilihat.
Itulah sebabnya ketika ia melihat Eliab, ia berpikir bahwa Eliablah calon raja itu. Dan ternyata TUHAN menolaknya, karena TUHAN bukan hanya melihat fisik, apa yang di depan mata tetapi Ia melihat hati; hati yang taat, hati yang berpaut kepada TUHAN (karena bukankah TUHAN menolak raja Saul karena Saul tidak memiliki hati yang taat?)
Banyak hal dalam kehidupan ini tidak dapat kita nilai dari apa yang kelihatan saja karena jika demikian kita akan kehilangan pengharapan dan kehilangan arah. Ketika kita melihat dunia di sekitar kita hanya dengan yang tampak saja yaitu dunia yang semakin rusak, semakin jahat; penuh ketidakadilan, dunia yang semakin menyengsarakan maka kita dapat menjadi putus asa. Tetapi TUHAN menolong kita untuk dapat melihat dengan mata iman; melihat jauh ke depan di balik segala yang kelihatan dengan penuh pengharapan kepada-Nya, maka kita tidak akan berputus asa menjalani hidup ini. Karena itu marilah kita menjalani hidup ini bersama TUHAN dan melihat di balik semua yang tampak dengan percaya dan berpengharapan penuh kepada-Nya. Amin.
“Aku mau hidup seribu tahun lagi”, demikian salah satu karya puisi dari Chairil Anwar. Ungkapan ‘aku mau hidup seribu tahun lagi’ adalah ungkapan kerinduan hampir setiap orang untuk memiliki hidup lebih lama, panjang umur bahkan kerinduan memiliki hidup yang tidak mengenal kematian. Itulah sebabnya sejak dahulu sampai saat ini manusia selalu berusaha untuk mendapatkan hidup yang lama, panjang umur dan kekal itu. Contoh usaha ini adalah mengawetkan mayat pada jaman Mesir Kuno, ramuan obat awet muda, bedah plastik dan sampai teknologi kloning yang dapat menggandakan tubuh manusia untuk mengganti tubuh lama yang telah tua dan rusak dengan tubuh baru hasil kloning sehingga hidup seseorang dapat dilanjutkan. Di atas segala kerinduan dan usaha manusia itu pada akhirnya manusia tetap harus menghadapi kenyataan yaitu kematian. Rakyat jelata atau seorang raja pada akhirnya sama akan menghadapi kematian dan berakhir di kuburan.
Kematian adalah kuasa yang dahsyat yang telah dan akan terus menelan hidup milyaran orang dan makhluk hidup lainnya di dunia ini. Sepanjang kehidupan di dunia ini tetap ada kematian terus menghantui. Apa penyebab kematian itu? Alkitab menjawab: “Upah dosa adalah maut” dan “semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah”. Jadi dosa-lah yang membuat hidup manusia berakhir pada kematian. Karena itu untuk mengalahkan kematian persoalannya bukanlah pada tubuh manusia itu sendiri dengan diawetkan, bedah plastic atau kloning, tetapi pada dosa yang harus diselesaikan. Bagaimana caranya? Dapatkah kita, manusia menghapuskan dosa? Tidak seorang pun! Kecuali Dia, Yang Datang dari Surga, Yang tanpa dosa, dan Yang telah mati menghapuskan dosa kita, yaitu Yesus! Itulah sebabnya ketika dosa dihapuskan dengan kematian-Nya di kayu salib, maka KUASA MAUT DIKALAHKAN OLEH KEBANGKITANNYA.
Alkitab menyaksikan bahwa kubur Yesus telah kosong (ay. 5-7), murid-murid tidak menjumpai-Nya di kuburan sebagai mayat yang terbujur kaku dengan kain kafan yang membungkusnya, karena Ia telah bangkit dan hidup. Yesus-lah yang menjumpai Maria dan murid-murid-Nya yang lain untuk memberi harapan baru kepada mereka dengan kebangkita-Nya (ay. 15-17).
Hari ini, melalui berita Paskah, Yesus yang bangkit itu datang dan menyapa kita, kata-Nya, “MAUT TELAH DIKALAHKAN, HARAPAN BARU HIDUP KEKAL TELAH DATANG, maukah Saudara menerimanya dan hidup “seribu” tahun lagi?
Ketika manusia melihat kenyataan KAJAHATAN di dunia ini yang semakin hebat. Dan kenyataan penderitaan orang-orang tak bersalah. Sebuah pertanyaan klasik sering muncul mempertanyakan tentang apa peran yang Ilahi dalam peristiwa yang dialami umat manusia, pertanyaan itu ialah:
·Jika Allah ada, mengapa Allah membiarkan kejahatan di dunia ini terus ada?
·Mengapa Allah diam saja ketika banyak orang tak bersalah dianiaya oleh orang jahat/fasik?
Pertanyaan sejenis ini selalu dipertanyakan orang dari dulu sampai sekarang:
-Pemazmur pernah berkata: “Mengapa Engkau Berdiri jauh-jauh ya Allah?
-Orang Yahudi pada jaman Hitler berkata: ‘Dimanakah Allah? Mengapa Allah diam saja ketika sang Hitler membunuh orang-orang Yahudi?
-Dan mungkin ketika peledakan menara kembar di New York, beberapa waktu lalu pun, banyak orang bertanya: “Mengapa Allah membiarkan hal ini terjadi?”
Kejahatan terus berkembang bukan saja secara kuantitas; jumlahnya semakin banyak, jangkauannya semakin luas (mendunia) dan semakin detil sehingga ada dalam setiap segi kehidupan manusia, termasuk hal yang dianggap paling suci sekalipin yaitu agama/gereja. Contoh: banyak orang yang menganiaya/membunuh sesamanya dengan atas nama agama/gereja.
Tetapi juga secara KUALITAS, kejahatannya semakin canggih, semakin kejam dan semakin banyak menelan korbannya, seperti serangan terorisme di New York, sekali pukul ribuan orang meninggal.
Mengapa Tuhan membiarkan kejahatan terus ada di dunia ini? Dan bagaimana Firman Tuhan menjawab hal ini?
Pertanyaan tetang mengapa kejahatan terus ada di dunia ini, dan mengapa Allah seolah-olah diam saja dengan apa yang terjadi, juga merupakan bagian pergumulan dan pertanyaan orang-orang Yahudi pada zaman Yesus.
Namun di tengah-tengah pergumulan mereka, mereka percaya bahwa bila Mesias datang atau bila pemerintahan Allah berlaku maka Allah akan menyingkirkan orang-orang fasik dengan segala kejahatannya dari kehidupan orang-orang yang baik. Hal ini didasarkan pada:
-Yesaya 11:4, yg mengatakan bahwa: Mesias itu akan menghajar bumi dengan perkataan-Nya seperti dengan tongkat dan dengan nafas mulut-Nya Ia akan membunuh orang fasik”
-Yohanes pembaptis juga mengatakan, bahwa jika Allah memerintah maka Ia akan mengumpulkan gandum-Nya ke dalam lumbung, dan debu jerami akan dibakar-Nya
“Kapak sudah tersedia pada akar pohon dan setiap pohon yang tidak menghasilkan buah yang baik, pasti ditebang dan dibuang ke dalam api.” (Mat.3:10,12)
Itulah keyakinan mereka; jika Allah memerintah, Ia akan memisahkan orang-orang baik dengan orang-orang jahat.
Namun ternyata ketika Yesus datang dan memproklamirkan bahwa Kerajaan Allah telah datang, mereka tidak melihat Yesus menghakimi atau menyingkirkan orang-orang jahat/ orang-orang yang menindas mereka dari antara mereka.
Akhirnya mereka menyimpulkan bahwa jika Yesus tidak menyingkirkan orang fasik dari antara orang percaya maka Yesus bukanlah Mesias.
Untuk menjelaskan hal ini, Yesus menceritakan perumpamaan yang kita baca dalam Matius 13:24-30.
Kata-Nya, “Hal Kerajaan Sorga/Allah seumpama….” Apa itu Kerajaan Allah/Sorga?
*Kerajaan Allah ini, tidak bicara soal tempa/ ruang dan waktu, tetapi soal suasana yaitu soal suasana pemerintahan Allah yang berlaku dalam diri setiap orang yang percaya kepada-Nya.
Jadi Kerajaan Allah ini menembus ruang dan waktu, artinya: Dimana saja; baik di dunia ini atau di dunia yang akan datang, dan di sepanjang waktu; baik sewaktu di dunia ini maupun di waktu kekekalan nanti, jika kita percaya kepada Allah dan menjadikan-Nya Raja yang memerintah hidup kita, maka kerajaan Allah berlaku pada kita.
*Perumpamaan ini diambil dari bidang pertanian, dan istilah yang dipakai oleh Yesus bukanlah hal yang asing bagi orang di Galilea pada zaman itu.
·mereka mengetahui ada semacam lalang (ilmiahnya: lolium temulentum) yang daunnya hampir sama dengan daun gandum, tetapi bulirnya sangat berbeda dengan gandum. Itulah sebabnya ketika gandum dan lalang itu mulai berbulir, maka setiap orang dengan mudah dapat membedakannya.
·Lolium itu dianggap musuh oleh petani karena bulirnya beracun, sehingga bila ada bulirnya yang tercampur dengan gandum dan dimakan orang, maka bisa berakibat pusing, pingsan dan mati, tergantung kadarnya.
·Ceritanya: ada seorang tuan menaburkan benih gandum yang baik di ladangnya. Ketika ia tidur, musuhnya menaburkan benih lalang. Ketika gandum dan lalang itu tumbuh dan mulai berbuah, tampaklah bahwa ada lalang di antara gandum itu.
·Ketika para hamba tuan itu hendak mencabut lalang-lalang itu, tuan itu melarangnya dengan alasan gandum itu juga bisa tercabut, karena akar lalang dan gandum itu sudah saling menjalin. Cara terbaik untuk menyingkirkan lalang itu ialah tunggu sampai pada musim menuai, mereka akan dipisahkan; gandum dimasukan ke lumbung, sedangkan lalang akan dibakar dalam api.
·Arti perumpamaan ini terdapat pada Matius 13:36-43, Tuan=Yesus, musuh=iblis, gandum=orang percaya, lalang=anak sijahat, ladang=dunia, waktu menuai=akhir zaman, para penuai=malaikat.
·Yang dipersoalkan dalam perumpamaan ini adalah mengenai orang jahat dan orang baik/orang percaya yang hidup bersama-sama di dunia ini. Hukuman untuk orang jahat ditunda dan mereka tidak langsung dihukum oleh Yesus di dunia ini.
·Hal ini merupakan ajaran yang baru bagi orang Yahudi, memang pada akhirnya Mesias akan membakar lalang/menghukum orang jahat, tapi Kerajaan Allah itu masih bertumbuh dan untuk sementara waktu si jahat masih ada bersama-sama orang percaya.
·Dengan cara yang indah inilah, Yesus mengajar bagaimana keadaan dunia sekarang ini.
Dengan perumpamaan ini, Tuhan Yesus mau mengatakan kepada kita tentang situasi dunia yang bagaimanakah kita sebagai orang percaya ini hidup:
1.Dunia tempat kita hidup ini, adalah dunia di mana orang fasik/jahat pun hidup bersama-sama. Mereka hidup dan terus bertumbuh di dalam kefasikannya, karena itu kita pun harus bertumbuh di dalam iman kita, karena bila tidak, maka iman kita akan mati terhimpit oleh kefasikan.
2.Hidup di dunia seperti ini adalah hidup yang penuh dengan tantangan; seperti gandum di antara lalang atau seperti domba di tengah serigala. Tantangan ini bisa berbagai macam bentuknya: Bisa kejahatan, kekerasan, materialisme, konsumerisme, kemajuan jaman dsb. Jadi bagi orang percaya, selama ia hidup di dunia ini, tidak mungkin baginya mengharapkan suatu hidup yang berjalan mulus, indah tanpa ada tantangan yang harus dihadapi.
3.Dalam pertumbuhan iman orang percaya, yang penting bukanlah ada atau tidaknya tantangan, atau bukan tantangan itu yang harus dihilangkan supaya kita bertumbuh melainkan kita harus tetap bertumbuh sekalipun di tengah-tengan tantangan.
Bagaimana caranya agar iman kita tetap bertumbuh di tengah-tengah tantangan yang ada di dunia ini?
Sebenarnya manusia tidak bisa menumbuhkan iman, yang memberi pertumbuhan iman ialah Allah: - Seperti benih yang di tabur dan tumbuh dengan sendirinya (Mrk.4:26-29)
- Paulus berkata: Aku menanam, Apolos menyiram tetapi Tuhan memberi pertumbuhan.
Pertama, kita harus cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati (Matius 10:16). Apa artinya?
Pdt. B. Sirait: cerdik = tahu diri, tahu lawan/dunia, dan tahu cuma Tuhan yang dapat menolong kita, sehingga dengan tulus kita mengandalkan Tuhan, bukan memperalat Tuhan.
Kedua, kita harus menjadi tanah yang subur, yaitu mendengar firman dan menyambutnya, memahami, menyimpan dalam hati dan melakukannya (Matius 13:23),
Akhirnya melalui perumpamaan ini, kita diajak bercermin; siapakah kita ini sebenarnya?
Gandum atau lalang? Domba di tengah serigala atau serigala berbulu domba?
Yang jelas, pada akhirnya nanti Yesus akan memisahkan gandum dengan lalang, atau domba dari antara serigala. Amin.
Kita mungkin pernah pernah mendengar ungkapan secara spontan yang diucapkan seseorang demikian, “Wah..... hebat, sekarang dia sudah jadi ‘orang’. Artinya menjadi orang yang berhasil dalam hidupnya atau istilah yang lain: sudah menjadi orang besar.
“Orang besar” yang dimaksud oleh orang-orang kebanyakan adalah orang-orang yang berhasil dalam pendidikan, kekayaan, menduduki jabatan tinggi di perusahaan, di masyarakat dan apa lagi di pemerintahan/negara.
Bukankah kita juga akan terpesona bila melihat seorang sahabat kita yang berhasil; entah ia berpendidikan tinggi – S3 misalnya, entah ia kaya raya, atau ia menjabat menteri dalam pemerintahan kita. Ã ketika kita berjumpa dengan dia, mungkan kita pun secara spontan berkata: “wah .... hebat kau, sudah menjadi orang besar.
Setiap orang dalam hidup ini pasti menginginkan untuk menjadi “orang besar”
Atau mengharapkan orang-orang yang mereka kasihi untuk menjadi “orang besar”. Itulah sebabnya para orangtua suka bertanya pada anak-anaknya:
“kalau sudah gede mau jadi apa?” (sekalipun tentu anak-anak belum memahami pertanyaan itu)
Tampaknya, kedua orang murid Yesus yang bernama Yakobus dan Yohanes pun tidak luput dari keinginan untuk menjadi “orang besar.”
Hal ini terungkap ketika Yesus dan murid-murid-Nya sedang dalam perjalanan ke Yerusalem (ayat 32).
Mungkin mereka berpikir bahwa di Yerusalem-lah Yesus akan mendirikan kerajaan-Nya, dan akan memerintah sebagai raja Israel yang sudah lama dinanti-nantikan. Jadi bila Yesus telah menjadi raja, alangkah hebatnya bila bisa menjabat sebagai menteri-menteri-Nya yang utama.
Itulah sebabnya dalam perjalanan itu, cepat-cepat Yohanes dan Yakobus mengajukan permintaan kepada Yesus, katanya:
"Perkenankanlah kami duduk dalam kemuliaan-Mu kelak, yang seorang lagi di sebelah kanan-Mu dan yang seorang di sebelah kiri-Mu."
Dari pernyataan mereka ini terlihat apa artinya menjadi ‘orang besar’ menurut mereka, ‘orang besar’ adalah orang yang memiliki jabatan atau menjadi pejabat pemerintahan atau pejabat kerajaan.
Mendengar permintaan mereka, Yesus berkata: kamu ngerti ngak apa yang kamu minta? Kebesaran/kemuliaan itu harus ditempuh dengan jalan penderitaan/pengorban, hal ini diumpamakan oleh Yesus dengan istilah ‘meminum cawan dan dibaptis’ seperti yang Yesus terima.
Sekalipun mereka sanggup menempuh dengan jalan penderitaan/pengorbana, namun posisi yang mereka minta, Allah Bapa yang menentukan. Posisi itu tidak dapat diminta oleh siapa pun.
Yesus menjelaskan kepada mereka bahwa ‘kebesaran/kemuliaan’ seseorang tidak datang melalui jabatan tertentu, apa pun jabatan itu; entah menteri, presiden, raja, pendeta atau penatua, dlsb.
Semua jabatan itu tidak serta-merta menjadikan seseorang sebagai ‘orang besar’.
Buktinya, banyak orang yang menjabat sebagai raja dan pembesar-pembesar di dunia ini tetapi perilakunya menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang yang berjiwa kerdil, yaitu dengan memerintah rakyatnya dengan tangan besi dan kekerasan. Salah satu ciri ‘orang besar’ adalah berjiwa besar, dan orang yang berjiwa besar tidak akan merugikan siapa pun juga apa lagi sampai merugikan dan menindas orang kecil/rakyat jelata.
Sebagai contoh: apa yang pernah terjadi di Myanmar, ketika para biksu dan rakyat memprotes kebijakan pemerintah militer. Mereka di hadang oleh senjata dan ditembaki. Dalam peristiwa seperti itu, mana yang dapat disebut ‘orang besar’? Pemerintah militer atau para biksu?
Karena itu kata Yesus, “siapa yang ingin menjadi besar hendaklah ia menjadi pelayan, dan siapa yang ingin menjadi terkemuka/terpandang/terhormat hendaklah ia menjadi hamba bagi semuanya.” (ayat 43,44)
“kebesaran dan kehormatan” menurut yesus bukan datang dari sebuah jabatan tetapi dari kerendahan hati yang mendalam sehingga mau melayani sesama bahkan melayani sebagai seorang hamba.
Apa artinya melayani sebagai hamba? Artinya melayani dengan memberi diri, hidup dan seluruhnya. Itulah sebabnya Yesus berkata: “Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang.” (ayat 45).
Semua yang dikatakan Yesus ini telah dilakukan-Nya sebagai teladan bagi kita.
Dari renungan ini, sedikitnya kita dapat belajar tentang dua hal, yaitu:
1. Kebesaran
Kebesaran dan kemuliaan tidak datang mengiringi begitu saja pada orang yang menjabat suatu jabatan baik dalam suatu perusahaan atau pemerintahan. Tetapi jabatan biasanya akan mengiringi orang-orang yang memiliki kebesaran jiwa atau orang yang berjiwa besar.
Dan ciri orang yang berjiwa besar adalah :
·ia tidak akan mengejar jabatan/kedudukan tertentu dan tidak takut kehilangan jabatan atau kehormatan dan wibawanya, melainkan ia akan rela merendahkan diri dan melayani. (seperti Yesus: Allah menjadi hamba – filp 2:1-8)
·Orang yang berjiwa besar tidak akan merugikan orang lain, apa lagi orang-orang sederhana dan orang yang butuh pertolongan, melainkan justru membawa kebaikan bagi sesamanya.
·Orang yang berjiwa besar tidak akan mengunakan kekerasan/atau cara-cara yang tidak patut dalam mempengaruhi orang lain, melainkan dengan hikmat, kasih, kebenaran dan ketegasan.
2. Melayani dan menghamba
Menjadi besar dan terkemuka adalah hal yang diperoleh karena melayani dan menghamba.
Banyak orang ingin dianggap besar dan dihormati dengan cara menduduki jabatan tertentu, menggunakan kekerasan/senjata agar orang takut, pasang wajah ‘garang’ agar orang segan – seperti yang dilakukan banyak orangtua terhadap anak-anaknya, dsb.
Padahal kata Tuhan untuk menjadi besar dan terkemuka kuncinya adalah sederhana yaitu dengan melayani dan menghamba. Sepintas hal ini memang aneh, tapi sebenarnya dunia ini juga telah membuktikan kebenaran dari ucapan Tuhan Yesus, yaitu:
* Apa yang menyebabkan orang-orang tionghoa yang berdagang pada umumnya maju dan menjadi besar?
adalah motto: ‘pembeli adalah raja’ sehingga harus dilayani dengan baik.
* Apa yang membuat BCA menjadi salah satu bank terbesar di negeri ini?
Karena Pelayanannya!
* Apa yang membuat gereja Tuhan berkembang menjadi besar ?
Jemaatnya yg hidup saling melayani.
* Apa yang membuat sebuah keluarga utuh, lestari dan bahagia?
adalah anggota keluarganya yg saling melayani, saling merendahkan diri dan saling memaafkan serta saling menerima satu terhadap yang lain.
* Pemimpin yang disegani, dan suami serta ayah yang dihormati, adalah mereka yang melayani dan memberi diri, rela berkorban untuk orang-orang yang dipimpinnya dan untuk keluarganya.
Apa bila Anda, sebagai pribadi, keluarga, gereja bahkan bangsa ini, memiliki kerendahan hati, dan rela berkorban bagi keluarga (bagi suami, istri, anak-anak, dan bagi orangtua), bagi gereja, bagi bangsa ini dan bagi sesama maka kebesaran, kemuliaan dan kehormatan hidup tidak perlu Anda kejar karena semua itu justru akan mengiringi kehidupan Anda dan setiap orang yang berjiwa besar.
Kiranya Tuhan menolong kita untuk memiliki kebesaran jiwa dengan kerendahan hati dan kerelaan berkorban bagi keluarga, gereja dan sesama. Amin.
Penulis: Handri Rusli
(pernah disampaikan pd persekutuan wanita GKB, 12052009
·Masyarakat pada umumnya menilai martabat manusia ditentukan oleh
hartanya. Karena itu tidak heran, kalau sejak kecil banyak orang menanamkan
konsep, bahwa “semakin banyak harta yang dimiliki, semakin
terhormatlah seseorang di masyarakat”.
·Seorang anak ditanya, “Kalau
sudah besar mau jadi apa?” Mau jadi
Dokter, katanya. Mengapa? Karena dokter
uangnya banyak! Anak yang lain menjawab ingin jadi konglomerat. Orangtua
mengajarkan kepada anaknya harus jadi orang pintar/pandai, agar gampang cari
uang.
·Dari anak-anak sampai orang tua, dari orang miskin sampai orang kaya,
orang sederhana sampai yang berpendidikan tinggi, kalau bicara selalu UUD: Ujung-ujungnya Duit. Mengapa?
Karena konsep tadi, bahwa martabat manusia itu ditentukan oleh kekayaannya.
·Ada orang yang bekerja mati-matian
tak kenal lelah dan waktu karena ingin kaya. Sudah kaya ia menumpuk kekayaannya
karena ingin tambah kaya. Orang yang pandai belajar sepandai-pndainya agar bisa
mendapat harta sebanyak-banyaknya. Tentu menjadi kaya dan menjadi orang pandai adalah hal yang baik, tapi bila hanya semata-mata untuk memupuk kekayaan belaka apa pun caranya, itulah yang harus dipertanyakan.
·Jarang sekali ada orangtua yang mengajarkan kepada anak-anaknya bahwa
mereka pertama-tama harus menjadi orang yang baik, agar apabila nanti mereka
menjadi orang yang berhasil dan kaya raya, mereka bisa membantu dan menolong
orang lain yang kesusahan.
·Sebenarnya, orang yang memandang martabat manusia terletak pada harta,
mereka selalu dilanda kecemasan. Orang miskin cemas karena tidak mempunyai
banyak harta, orang kaya, penguasa dan orang pandai cemas karena takut
kehilangan harta. Akibatnya: mereka menyiksa diri dengan berbagai-bagai duka.
Paulus, dalam 1 Timotius 6:10, berkata: “…Akar segala kejahatan ialah cinta uang.
Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari iman dan
menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka.”
·BAGAIMANA PENILAIAN KITA
SEHARUSNYA SEBAGAI ORANG KRISTEN
TERHADAP HARTA?
·Inilah yang diajarkan oleh Firman Tuhan melalui Sang Pemazmur. PEMAZMUR
tidak mengajarkan umat Allah untuk ANTI HARTA. Dan ia juga tidak mengatakan
bahwa martabat manusia tidak lebih tinggi dengan hartanya dan tidak menjadi
lebih rendah bila tidak mempunyai harta.
·Pemazmur dengan tegas mau menyatakan bahwa jika manusia hanya mempunyai
harta namun tidak mempunyai PENGERTIAN,
maka martabatnya akan serendah hewan. Pada ayat 21, Pemazmur berkata, “Manusia,
yang dengan segala kegemilangannya tidak mempunyai pengertian, boleh disamakan
dengan hewan yang dibinasakan.”
·Jadi menurut si Pemazmur, yang membuat martabat manusia itu tinggi atau
rendah bukanlah harta, tetapi pengertian. Apakah manusia dalam hidupnya
mempunyai pengertian atau tidak, itulah martabatnya. Lalu apa yang dimaksud dengan PENGERTIAN oleh
Sang Pemazmur? Apakah kepandaian akademis? Ternyata BUKAN !!!
·PENGERTIAN yang dimaksud ialah:
Pertama, bahwa setiap
manusia tidak dapat melawan satu fase dalam kehidupannya, yaitu kematian. Siapa
pun dia; kaya-miskin, pintar-bodoh, penguasa atau rakyat jelata, semua manusia
tetap akan MATI.
Berapapun harta yang
dimiliki, atau kepandaian atau kekuasaan, KEMATIAN tidak dapat dihindari ataupun ditunda ketika saatnya tiba.
Ini berarti bahwa harta
betapapun banyaknya tidak bisa membeli hidup, apabila hidup itu diambil oleh
Yang Maha Kuasa. (baca ayat 8-11)
Kedua, ditinjau dari fase
kematian ini, manusia memang tidak berbeda dengan hewan seolah-olah kematian
memang tujuan hidupnya (12-15)
Ketiga, bahwa yang
membedakan manusia dengan hewan sehingga martabatnya lebih tinggi dari hewan adalah hubungannya dengan Allah.
Jika manusia mempunyai hubungan yang baik dengan Allah, Penciptanya, maka
kematian bukan akhir dari kehidupannya (16).
Jadi dengan pengertian ini
Pemazmur mau mengatakan bahwa MANUSIA YANG MENGABAIKAN ALLAH DALAM HIDUPNYA DAN
MENGIKATKAN DIRI SERTA BERGANTUNG PADA HARTANYA, IA BUKANLAH MANUSIA LAGI,
tetapi dapat disamakan seperti hewan yang akan binasa.
·Bagaimana seharusnya sikap umat terhadap kekayaan?
-Hidup manusia tidak bergantung pada harta, tetapi pada TUHAN, karena
harta adalah sementara dan mudah hilang, serta tidak dibawa mati (16-20). Karena itu
jangan cemas bila tidak memilki harta, dan jangan cemas pulsa karena takut kehilangan
harta.
-Mensyukuri hidup dengan apa
yang ada,
yang telah Tuhan berikan melalui pekerjaan yang kita lakukan dengan
sebaik-baiknya dan tetap berusaha agar hidup menjadi lebih baik dan berkualitas dengan segala yg dilakukan.sehingga kita memuliakan Tuhan, dengan menjadi berkat
bagi sesama.
-Belajar
menghargai seseorang bukan karena kekayaannya atau kedudukannya, tetapi karena
kemanusiaanya, bahwa ia adalah manusia yang dikasihi Allah, dimana Kristus rela
mati untuknya.
Kiranya Tuhan menolong kita untuk melakukan Firman-Nya. Amin.
-->
Oleh: Handri Rusli, dalam Ibadah Umum GKB,
02092001